Santi Whiteside adalah seorang perempuan berdarah Batak yang sudah menetap di Australia selama 20 tahun. Kini dia memutuskan untuk terjun ke dalam politik praktis dengan menjadi salah satu kandidat ‘councillor’ di kawasan Whitehorse, sebelah timur kota Melbourne. 'Councillor' adalah pejabat yang dipilih melalui pemilihan untuk 'council' atau Dewan Pemerintah setingkat kabupaten atau kota.
Salah satu dari 'councillor' sekaligus akan menjadi walikota atau 'mayor'. Ia mengaku pada awalnya tak terpikir untuk terjun dalam dunia politik di Australia. Namun dukungan dari teman teman dan komunitasnya, akhirnya mendorong Santi untuk mencalonkan diri.
"Salah satu alasan saya ingin ikut tahun ini adalah agar lebih banyak warga Indonesia [di Australia] yang terjun ke dunia politik Australia, untuk kehidupan warga yang lebih baik," kata Santi seperti dilansir dari ABC Indonesia . Selama ini, Santi memang aktif di sejumlah organisasi kemasyarakatan di Melbourne. Beberapa organisasi yang diikutinya secara aktif adalah Perhimpunan Warga Indonesia di Victoria, dimana Santi dipercaya sebagai Wakil Presiden di organisasi tersebut. Selain itu, dia juga aktif di perkumpulan kuliner Indonesia dan menjadi komite di perkumpulan warga India di Australia.
"Meskipun saya berdarah Batak, tapi sudah lama saya tertarik dengan budaya India," katanya. Di Indonesia, politik uang dalam sebuah pemilihan sudah menjadi rahasia umum, tapi Santi mengaku hal ini, setidaknya, tidak terjadi dalam pemilihan 'council' di Victoria. Dari biaya yang ia keluarkan untuk mengikuti pemilihan 'councillor', ia mengatakan biaya terbanyak adalah untuk keperluan kampanye.
"Kebanyakan untuk membuat materi kampanye, seperti poster, iklan di media," katanya. Santi mengaku jika modal politiknya saat ini ia dapatkan dari kegiatannya di sejumlah organisasi, sehingga membuatnya paham sejumlah masalah yang dialami warga, terutama migran baru, seperti kesejahteraan, lapangan pekerjaan, kesehatan mental. "Jika saya terpilih di [kawasan] Wattle, maka saya akan mampu mengangkat masalah yang dihadapi warga di sini dengan memahami latar belakang budaya yang beragam," ujar kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.
Akibat ketatnya pembatasan aktivitas di tengah pandemi COVID 19, para kandidat 'councillor' di negara bagian Victoria tidak dapat melakukan kampanye secara tatap muka. Sebagai gantinya, Santi mengaku jika banyak warga yang langsung menghubungi dirinya, baik secara telepon atau email, untuk mengetahui langkah apa yang ia akan ambil untuk mengatasi permasalahan di daerahnya. Ibu dengan tiga anak dan bersuamikan pria Australia ini mengaku sudah pindah kewarganegaraan sejak 15 tahun lalu dengan alasan "untuk lebih memudahkan memperkenalkan budaya Indonesia di tingkat dunia".
Namun ia mengatakan hal tersebut tidak melunturkan nilai nilai Indonesia yang tetap ia pegang teguh, terutama soal hidup dalam keberagaman budaya. "Saya tetap bangga dengan adat Indonesia dan nilai nilai yang dibesarkan keluarga saya dan sekarang saya mengakui sebagai seorang warga Australia dengan nilai nilai Indonesia yang kuat," ujarnya. "Bagaimanapun adat dan budaya Indonesia yang menekankan pada persatuan dan kesejahteraan keluarga sejalan dengan nilai nilai dalam kehidupan di Australia."
Santi mengaku ia tidak terlalu banyak berharap dalam pemilihan kali ini, karena telah mendapatkan banyak pelajaran baginya untuk berpartisipasi dalam politik praktis di Australia untuk menyiapkan dirinya lebih baik dalam empat tahun mendatang. "Salah satu alasan saya ingin ikut tahun ini juga adalah agar lebih banyak warga Indonesia [di Australia] untuk terjun ke dunia politik Australia untuk kehidupan warga yang lebih baik," kata Santi. Tahun ini banyak kandidat 'councillor' di Victoria yang berasal dari berbagai latar ras dan budaya, seperti Santi, dengan harapan mereka dapat membuat perubahan bagi komunitasnya.
Calvin Chin, berdarah Malaysia China memilih untuk ikut dalam pemilihan di Monash City Council, yang seperempat penduduknya adalah warga keturunan China. "Kebanyakan migran asal Asia di sini adalah generasi pertama … suara mereka tidak pernah terdengar," ujar Calvin. Bukan hanya karena faktor budaya yang jauh berbeda, Calvin mengatakan seringkali mereka tidak terwakili karena adanya hambatan dalam berbahasa.
Begitu pula dengan Amina Liban, yang datang ke Australia 20 tahun lalu bersama orangtua dan delapan saudara kandungnya dari Somalia. Meski ia sudah melihat banyak kemajuan dalam penerimaan budaya yang beragam, namun menurutnya masih kurang ada kesempatan bagi orang orang yang tidak berkulit putih. "Kita berusaha untuk menyediakan berbagai pelayanan kepada warga, [tapi] jika tidak memiliki pemahaman budaya saat memenuhi kebutuhan mereka, bagaimana bisa memberikan pelayanan terbaik?" ujar Amina. Kepada ABC Indonesia, Amina mengatakan ia bukan saja ingin mewakili komunitas Afrika dan Muslim, tapi juga meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik Australia.
Sementara bagi Santi, ia ingin agar semua warga, khususnya di daerah yang diwakilinya mendapat pelayanan dan perhatian yang adil. Terlebih ia merasa warga dari beragam ras dan budaya di kawasannya belum terlalu terekspos atau terlibat dalam kehidupan bermasyarakat. "Saya ingin membangun kehidupan masyarakat multikultur yang kuat dan harmoni, saling menghormati dan melihat satu sama lain sebagai satu keluarga besar Australia," ujar Santi.